Kabar bahwa Kementerian Perumahan
Rakyat (Kemenpera) tetap berencana merevisi PP 41/1996 tentang Pemilikan
Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di
Indonesia masih menyisakan perdebatan.
Salah satu pasal yang
santer akan diubah dalam revisi PP ini adalah klausul pemberian hak
pakai atas tanah kepada orang asing dari 25 tahun menjadi 70 tahun.
“Walaupun
yang akan diubah mungkin adalah masa sewa dari 25 tahun menjadi 70
tahun, tetap saja menimbulkan kekhawatiran. Karena bisa jadi suatu
ketika akan merembet ke kepemilikan,” kata Kapoksi V dari Fraksi PKS
Sigit Soesiantomo (Jumat, 22/3).
Bahkan dalam Rapat Dengar
Pendapat (RDP) Komisi V DPR dengan Menpera sebelumnya, Legislator dari
Dapil Surabaya-Sidoarjo ini dengan tegas meminta agar perdebatan terkait
hal ini dibuka dalam floor dan rapat-rapat di DPR.
Perlu diingat,
pada tanggal 25 Maret 2008, MK telah membatalkan pasal 22 dalam UU No
25/2004 tentang penanaman modal. Dimana pasal 22 ini adalah pasal yang
memberikan hak untuk memperoleh penguasaan tanah melalui perpanjangan
penguasaan tanah (HGU selama 95 tahun, HGB selama 80 tahun, dan HPL
selama 70 tahun) kepada pengusaha/penanam modal (baik lokal maupun
asing).
Kepemilikan properti bagi warga asing akan menimbulkan
dampak negatif termasuk akan semakin sulitnya masyarakat kelas bawah
untuk mendapatkan rumah. Perilaku warga berpenghasilan tinggi umumnya
memandang properti bukan sebagai tempat tinggal, namun sebagai
investasi. Setelah properti dibeli, maka setahun atau dua tahun kemudian
dijual lagi dengan harga yang bisa jadi sudah dua kali lipat.
Berlipatnya
harga jelas akan berimbas kepada kian berkurangnya kemampuan masyarakat
berpenghasilan rendah (MBR) untuk membeli properti. Kebijakan ini akan
kontra produktif dengan UU PKP dan Rusun yang sudah mengamanahkan
pemerintah untuk memberikan kemudahan pada MBR untuk mendapatkan rumah
karena itu adalah hak setiap warga Negara.
Selain itu juga
dikhawatirkan konversi dari lahan pertanian menjadi lahan properti akan
semakin banyak, juga kerusakan lingkungan yang potensial ditimbulkan.
Nilai dari semua dampak ini jauh lebih besar dibanding potensi pajak
yang akan dihasilkan akibat pemilikan properti warga asing. Di sisi
lain, Sigit juga meragukan pendapat yang mengatakan bahwa ditambahnya
jangka waktu sewa properti akan mendongkrak investasi dari asing.
Dampak
lainnya adalah jika suatu saat terjadi krisis keuangan dan si investor
asing kabur dari negara ini, maka hal ini akan menjadi beban bagi
pemerintah. Kita masih ingat pada apa yang dikenal dengan krisis
Subprime Mortgage di Amerika Serikat.
Penyebab utama dari krisis
ini adalah suatu desain produk perbankan di AS yang dikenal dengan
Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Subprime. KPR yang sangat booming mulai
tahun 2001-2005 ini tumbuh sangat cepat. Mencapai angka US$605 miliar
pada tahun 2006 atau meningkat lima kali lipat dari tahun 2001.
Sigit
justru menyarankan agar Kemenpera lebih baik fokus pada tugas pokoknya
yaitu pemberian solusi pemenuhan kebutuhan perumahan rakyat daripada
memperlonggar ketentuan pemilikan properti bagi warga asing, mengingat
saat ini backlog atau kekurangan pasokan perumahan masih sangat tinggi.
Bahkan,
program rumah susun (rusun) dan fasilitas likuiditas pembangunan
perumahan (FLPP) yang menjadi unggulan Kemenpera belum signifikan
mengurangi backlog perumahan.
RUU Tapera yang sekarang sedang di
bahas di DPR juga belum menyentuh hal krusial seperti bagaimana akses
bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sektor non formal bisa
mendapatkan rumah sederhana yang sehat dan laik huni. Saat ini,
berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), backlog perumahan di
Indonesia di tahun 2010 sudah mencapai 13,6 juta. Angka ini bahkan
diproyeksikan dapat membengkak hingga 15 juta pada 2014 mendatang.
(zul/RMOL)
Posting Komentar